Minggu, 27 September 2009

Baju baru ?



Sebenernya makna idul fitri itu apa sih ?
Maaf-maafan ? Oke tapi apa cuma itu ?
Tapi hal yang paling ditunggu-tunggu pasti waktu pembagian angpao. Iya kan ? Hehe jujur aja deh, saya juga kayak gitu.

Banyak orang yang menjadikan moment idul fitri ini untuk membeli baju baru, makan opor ayam, bagi2 angpao. Itu hanya suatu adat, sebennarnya lebaran tanpa hal-hal di atas pun ga masalah yang penting hati kita bisa kembali suci, merencanakan suatu hal yang lebih baik untuk ke depannya.

Jadi buat semuanya, jangan khawatir kalo lebaran pake baju lama, makannya pake telur ayam, ga ada yang ngasi angpao, ga dosa kan ?

Hepi lebaran ^0^

Sunnah berhari raya



1 Shalat ‘Ied Hukumnya Wajib

Masih banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui hukum ini. Rasulullah telah memerintahkan wanita haidh dan gadis dalam pingitan untuk keluar menghadirinya. Padahal, untuk shalat-shalat wajib lainnya -seperti shalat Jum’at- beliau mengatakan, “Shalat di rumah lebih balk bagi mereka.”

Bahkan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau mewakilkan kepada seseorang untuk mengimami shalat ‘Ied di masjid bagi yang tidak sanggup datang ke lapangan.

Para ulama, dari dahulu sampai sekarang -seperti: Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ash Shan’ani, Asy Syaukani, Syaikh AI Albani dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- mengatakan hukumnya wajib ‘ain.1 Shalat ‘Ied di lapangan merupakan syi’ar kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita meremehkan kewajiban ini.

2 Mandi Dan Berhias Diri Sebelum Berangkat Shalat ‘Ied

Salah situ Sunnah Nabi pada hari ‘Ied, yaitu mandi sebelum berangkat menunaikan shalat ‘led. Hendaklah memperbaiki penampilan dan mengenakan pakaian yang bagus saat menghadiri shalat ‘led. Begitulah yang dilakukan oleh para salaf. seperti Abdullah bin Umar beliau mandi sebelum berangkat ke lapangan.

Begitu pula para tabi’in. Salah seorang tokoh tabi’in, yakni Said bin Al Musayyib berkata,

“Sunnah ‘Iedul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan (tempat shalat), makan sebelum berangkat dan mandi.”

All bin Abi Thalib, pernah ditanya tentang mandi: apakah harus mandi setiap hari? Beliau menjawab,

“Tidak harus. Namun, yang harus mandi ialah pada hari Jum’at, had ‘Arafah, hari ‘ledul Adha dan ‘Iedul Fitri.”

Ibnu Abdil Barr berkata,

“Para fuqaha sepakat, bahwa mandi sebelum berangkat shalat ‘Iedul Fitri dan ‘ledul Adha adalah balk bagi yang melakukannya.”

Hukumnya sunnat, seperti dijelaskan oleh Imam An Nawawi berikut ini,

“Imam Asy Syafr’i dan rekan-rekannya mengatakan, ‘Untuk melaksanakan shalat ledul Fitri dan ledul Adha dianjurkan mandi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini’.”

Diriwayatkan dalam kitab Shahihain, dari Abdullah bin Umar,

Umar membeli jubah yang terbuat dari sutera yang dijual di pasar. Ia membawanya kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, ambillah jubah ini untuk berhias diri pada hari ‘Ied, dan saat menyambut utusan-utusan.” Rasulullah berkata,

“Sesungguhnya, ini adalah pakaian orang-orang yang tidak mendapat bagian di akhirat.”

Ibnu Qudamah mengatakan,

“Hadits ini menunjukkan, bahwa berhias diri pada kesempatan-kesempatan tersebut, yakni pada hari Jum’at, hari ‘Ied dan saat menyambut utusan-utusan, adalah pekara yang sudah mashur di kalangan mereka.”

Dart hadits di atas, juga dapat dipetik faidah, bahwa menghadiri shalat ‘Ied dianjurkan untuk meng[25]enakan pakaian yang bagus.

Marilah kita meliput yang dilakukan oleh Ibnu Umar pagi hari ‘Ied. Ibnu Ishaq berkata, aku bertanya kepada Nafi’,”Bagaimanakah yang dilakukan oleh Ibnu Umar pada hari ‘led?’ Ia menjawab,

“Beliau menghadiri shalat Subuh berjama’ah bersama imam. Kemudian, pulang ke rumah. Lalu beliau mandi, sebagaimana mandi junub, lalu mengenakan pakaian yang paling bagus yang dimilikinya, lalu memakai parfum yang beliau miliki.

Kemudian keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘Ied. Beliau duduk menunggu imam. Apabila imam telah datang, beliau shalat bersamanya.

Kemudian beliau kembali dan mendatangi masjid Nabawi, lalu shalat dua raka’at. Setelah itu, beliau pulang ke rumah.”

Maka dari itu wahai saudaraku, jangan lupakan Sunnah Nabi ini. Mandi dan berhias dirilah sebelum mendatangi shalat ‘Ied.

3 Makan Sebelum Berangkat Shalat.

Sebelum berangkat ke lapangan untuk shalat pada hari ‘Ied, dianjurkan agar makan terlebih dulu. Dan sebaiknya memakan kurma, seperti diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dari hadits Anas bin Malik ia berkata,

Rasulullah tidak berangkat shalat pada hari ‘Ied, hingga beliau ‘makan beberapa buah kurma.

Disunnahkan memakannya dalam jumlah ganjil, seperti disebutkan dalam riwayat lain dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah tidak berangkat shalat pada hari ‘Iedul Fitri, hingga beliau makan kurma sebanyak tiga atau lima atau tujuh buah.

Jika tidak ada kurma, dibolehkan makanan yang lainnya, namun diutamakan yang manis-manis, seperti: madu dan sejenisnya. Atau kalau tidak ada makanan sama sekali, maka minum air juga sudah mencukupinya. Demikian dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Dalam sebuah atsar yang shahih, dari Abdullah bin Abbas disebutkan, bahwa beliau berkata,

“Jika kalian sanggup tidak berangkat shalat ‘Iedul Fitri sebelum memakan makanan, maka lakukanlah.”

Jangan lewatkan sunnah yang satu ini, wahai saudaraku. Persiapkanlah makanan untuk pagi hari ‘Ied.

4 Ajaklah Keluarga Dan Kaum Wanita Untuk Menghadirinya

Rasulullah telah memerintahkan para wanita untuk keluar menghadiri shalat ‘Ied. Ummu Athiyyah berkata,

Kami diperintahkan -yakni oleh Nabi - agar membawa serta para gadis yang sudah baligh dan gadis-gadis yang berada dalam pingitan pada hari ‘Ied. Sehingga mereka bisa menyaksikan jama’ah kaum muslimin dan do’a mereka. Dan wanita yang sedang haidh menjauhi tempat shalat.

Dalam riwayat lain disebutkan,

Kami diperintahkan agar ikut serta pada hari ‘Ied. Demikian pula para gadis yang berada dalam pingitan. Beliau juga memerintahkan wanita haidh untuk keluar, namun hendaknya mereka mengambil tempat di belakang tempat shalat dan ikut bertakbir bersama kaum muslimin.

Dalam riwayat lain disebutkan, ada seorang perempuan berkata,

“Wahai Rasulullah. salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Rasulullah berkata, “Hendaklah saudaranya yang lain meminjamkanjilbab untuknya.”

Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah mendatangi tempat shalat, kemudian mengerjakan shalat, lalu menyampaikan khutbah. Kemudian, disertai Bilal, beliau mendatangi kaum wanita untuk memberi nasihat dan peringatan kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah.

Demikian pula para sahabat. Mereka membawa serta keluarga ke lapangan shalat ‘Ied. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau membawa serta keluarganya yang bisa dibawa ke lapangan shalat ‘Ied.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah menyebutkan alasannya, “Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.”

Oleh karena itu, bawalah serta keluargamu ke lapangan tempat dilaksanakannya shalat ‘Ied. Hidupkan dan semarakkanlah syi’ar kaum muslimin ini.

5 Berjalan Kaki Menuju Lapangan Tempat Shalat

Dianjurkan keluar menuju lapangan shalat ‘Ied dengan beijalan kaki, bila memungkinkan dan tidak memberatkan. Jika memberatkan, maka boleh dengan mengendarai kendaraan.

Dalam Mursal Az Zuhri disebutkan, bahwa Rasulullah tidak mengendarai kendaraan saat menuju tempat shalat ‘Ied dan saat mengantar jenazah.

Telah disebutkan atsar dari Said bin Al Musayyib,

“Sunnah ‘Iedul Fitri ada tiga. (Yaitu:) berjalan menuju lapangan (tempat shalat), makan sebelum berangkat dan mandi.”

Abu Bakar Hafsh bin Umar bin Sa’ad berkata,

“Kami keluar bersama Abdullah bin Umar pada hari ‘Iedul Adha atau ‘Iedul Fitri. Dia keluar berjalan kaki hingga sampai ke tanah lapang tempat pelaksanaan shalat ‘Ied. Dia duduk menunggu imam datang, kemudian shalat bersama imam, kemudian beliau pulang.”

Diriwayatkan pula dari All bin Abi Thalib, bahwa beliau berkata,

Termasuk sunnah, yaitu engkau berjalan kaki menuju tempat shalat ‘Ied dan memakan sesuatu sebelum berangkat.

Berjalan kaki menuju lapangan tempat pelaksaan shalat ‘Ied dapat menghidupkan syi’ar hari yang agung ini. Namun patut disesalkan, Sunnah Nabi ini seakan telah dilupakan oleh kaum muslimin. Maka dari itu, marilah kita hidupkan kembali Sunnah Nabi ini.

6 Mengumandangkan Takbir

Satu lagi Sunnah Nabi yang ditinggalkan kaum muslimin, yaitu bertakbir dengan mengangkat suara; mulai dari keluar rumah hingga imam tiba di tempat shalat.

Al Faryabi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa beliau mengeraskan suara takbir pada hari raya ‘Iedul Fitri saat berangkat ke tempat shalat, hingga imam keluar dan beliau mengikuti takbirnya.

Imam Syu’bah bertanya kepada Al Hakam’dan Hammad,

“Apakah aku bertakbir saat keluar menuju tempat shalat?” Mereka berdua menjawab,”Ya.”

Kaum wanita juga dianjurkan bertakbir jika aman dari fitnah, tetapi dengan tidak mengeraskannya seperti halnya kaum pria. Dasarnya adalah hadits Ummu Athiyyah sebagaimana telah disebutkan di atas.

Adapun lafazh takbir; telah diriwayatkan dari sebagian sahabat, diantaranya ialah takbir Abdullah bin Abbas:

Allahu Akbar kabira, Allahu Akbar kabira, Allahu Akbar wa aJalla, Allahu Akbar walillahil hamd.

Atau takbir Salman Al Farisi:

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira.

Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i, ia berkata,

“Mereka bertakbir pada had ‘Arafah. Diantara mereka ada yang menghadap kiblat setelah selesai shalat sambil mengucapkan:

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu, Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd.

(Artinya, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah. Allah Maha Besar, Maha Besar Allah, segala pujian hanyalah milikNya.

7 Berangkat Dengan Melewati Satu Jalan Dan Kembali Lewat Jalan Yang Lain

Ketika kembali dari shalat, disunnahkan mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui ketika berangkat. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, ia berkata,

Bahwasanya Rasulullah pada hari ‘Ied mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui sewaktu berangkat.

Para ulama banyak menyebutkan hikmahnya. Diantaranya sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II/ 473. Ada yang mengatakan, hikmahnya ialah untuk menampakkan syi’ar Islam pada had itu. Ada yang mengatakan, hikmahnya untuk menampakkan syi’ar dzikrullah pada hari itu.

Ada yang mengatakan, hikmahnya agar jin dan manusia yang ada di dua jalan tersebut dapat menyaksikannya. Ada yang mengatakan, hikmahnya ialah untuk membangkitkan kedongkolan dalam hati kaum munafikin dan Yahudi, dan masih banyak lagi hikmah-hikmah lainnya.

Setelah menyebutkan hikmah-hikmah di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan,

“Hikmahnya ialah mutaba’atus Sunnah (mengikuti sunnah) Rasulullah.”

Syaikhul Islam menyebutkan dalam kitab Majmu’ Fatawa,

“Bahwasanya dalam melaksanakan manasik dan pada had ‘Ied, Rasulullah ‘tit berangkat dari satu jalan dan pulang melalui jalan yang lainnya.”

8 Memberi Ucapan Selamat

Boleh mengucapkan selamat hari ‘Ied kepada kaum muslimin pada hari yang berbahagia ini. Sebagaimana diriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in, seperti Abu Umamah Al Bahili dan lainnya. Mereka mengucapkan: Taqabballahu minna wa minkum. (Artinya, semoga Allah menerima amalan kita semua).

Imam Malik pernah ditanya,

“Makruhkah hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya saat kembali dari shalat ‘Ied “Taqabballahu minna wa minkum” atau “Ghafara lava wa laka” (semoga Allah mengampuni kita semua), lalu saudaranya membalasnya seperti yang diucapkannya?”

Beliau menjawab, “Tidak maknih.” Yakni boleh.

Imam Ahmad pernah ditanya: “Aku harap tidaklah mengapa mengucapkan selamat.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menganggapnya boleh bagi yang melakukannya dan bagi yang tidak melakukannya. Terdapat contoh dan panutan bagi kedua belah pihak

9 Sambutlah Hari ‘Ied Dengan Ketaatan Dan Kesederhanaan

Sambutlah hari yang agung ini dengan ketaatan dan kesederhanaan, tidak mubadzir dan melampaui batas; baik dalam hal makanan, pakaian atau yang lainnya. Allah berfirman,

Dan janganlah kamu nlenghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudarasaudara syetan. dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS Al Isra’: 26-27).

Dalam ayat lain, Allah berfirman,

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah. dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS Al An’am: 31).

Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan itu. Hindarilah perbuatan dosa dan maksiat pada hari yang suci dan agung ini.

Semoga kita termasuk hamba yang bertaqwa dan memperoleh ampunan setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa. Jangan lupa pula mengerjakan puasa Syawal enam hari, untuk memperoleh kesempurnaan dari amal puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda,

Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka seolah ia telah berpuasa setahun penuh.

Demikianlah beberapa sunnah Nabi yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan ini. Semoga kita dapat mengamalkannya.



Hukum Shalat Ied



Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

"Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[1] dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Ied termasuk syi'ar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir di dalamnya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Ied hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]

Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam "Sailul Jarar" (1/315).[2]

"Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid.

Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[3]

Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita".

Kemudian beliau Rahimahullah berkata :

"Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Ied jatuh pada hari Jum'at -pen)[4]. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama'ah sejak disyari'atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Ied"[5]

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" (hal 344) setelah menyebutkan hadits Ummu Athiyah :

"Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar sunnah ......"


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii As Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note
[1]. Lihat "Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya
[2]. Shiddiq Hasan Khan dalam "Al-Mau'idhah Al-Hasanah" 42-43
[3]. Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981) dan (1652). Muslim (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa'i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad (5/84 dan 85).
[4]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id dengan hai Jum'at- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : (1 hadits) "Artinya : Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum'at ...." [Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat "Al-Mughni" (2/358) dan "Majmu Al-Fatawa" (24/212).
[5]. Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat "Nailul Authar" (3/382-383) dan "Ar-Raudlah An-Nadiyah" (1/142).




Makna Idul Fitri



Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh, yaitu ridha dan magfirahNya, sebagai ganjaran atas amal baik yang telah dilakukannya. Allah Swt juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin yang berdoa pada hari raya Idul Fitri, kecuali akan dikabulkan.

Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus, seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu ‘alam, kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa: ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik, individu, maupun sosial.

Penghayatan dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong kita untuk kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang selain punya hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idul Fitri seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn (Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan bathin, adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).

Makna Idul Fitri

Sejak Idul Fitri resmi jadi hari raya nasional umat Islam, tepatnya pada tahun II H. kita disunahkan untuk merayakannya sebagai ungkapan syukur atas kemenangan jihad akbar melawan nafsu duniawi selama Ramadhan. Tapi Islam tak menghendaki perayaan simbolik, bermewah-mewah. Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Ada pemandangan paradoks, betapa disaat kita berbahagia ini, saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar. Bersyukurlah kita! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1428 H. Mohon maaf lahir dan bathin.

Perbedaan mustahiq zakat fitrah dan mal




Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait dengan mustahiq zakat fitrah, apakah sama dengan mustahiq zakat mal atau berbeda?

Yang jelas mereka sepakat bahwa zakat fitrah didistribusikan kepada orang-orang fakir di kalangan kaum muslimin. Nabi saw. bersabda, "Cukupilah mereka agar mereka tidak meminta-minta pada hari tersebut."

Adapun mengenai golongan lainnya mereka berbeda pendapat. Imam al-Kharaqi al-hambali berpandangan bahwa zakat fitrah diberikan kepada orang-orang yang boleh diberi zakat mal." Pendapat serupa dinyatakan oleh Ibnu Qudamah dengan alasan bahwa keduanya sama-sama berupa zakat sehingga ia juga tercakup dalam ayat 60 surat at-Taubah).

Sementara itu, Syeikhul Islam memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, distribusi zakat fitrah hanya tertuju kepada fakir miskin saja, sementara muallaf dan golongan lainnya tidak. Hal ini dengan mengacu pada sabda Nabi di atas, "Cukupilah mereka agar mereka tidak meminta-minta pada hari tersebut."

Kamis, 24 September 2009

ketentuan zakat fitrah



Ketentuan-Ketentuan Zakat Fitrah1. Besarnya zakat Fitrah adalah 1 sha’ yaitu 2176 gram atau 2,2 Kg beras atau makanan pokok. Dalam prakteknya jumlah ini digenapkan menjadi 2,5 Kg, karena untuk kehati-hatian. Hal ini dianggap baik oleh para ulama.2. Menurut madzhab hanafi, diperbolehkan mengeluarkan zakat Fitrah dengan uang seharga ukuran itu, jika dianggap lebih bermanfaat bagi mustahik.3. Waktu mengeluarkan zakat Fitrah adalah sejak awal bulan puasa Ramadhan hingga sebelum shalat ‘Idul Fitri maka dianggap sedekah sunah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
فَمَنْ أدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Artinya : “Barang siapa mengeluarkan (zakat Fitrah) sebelum shalat (‘Idul Fitri), maka zakatnya sah. Barang siapa mengeluarkannya setelah shalat maka dianggap sedekah sunah.” (HR. Ibnu Majah)

4. Zakat Fitrah boleh dikeluarkan langsung kepada mustahik atau dibayarkan melalui amil zakat.

5. Amil atau panitia zakat Fitrah boleh membagikan zakat kepada mustahik setelah shalat ‘Idul Fitri.

6. Jika terjadi perbedaan Hari Raya, maka panitia zakat Fitrah yang berhari raya terlebih dahulu tidak boleh menerima zakat Fitrah setelah mereka mengerjakan shalat ‘Idul Fitri.

7. Panitia Zakat Fitrah hendaknya mendoakan kepada orang yang membayar zakat, agar ibadahnya selama Ramadhan diterima dan mendapat pahala. Doa yang sering dibaca oleh yang menerima zakat, diantaranya:

آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا

Artinya : “Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu atas apa saja yang telah Allah memberi berkah kepadamu atas semua yang masih ada padamu dan mudah-mudahan Allah menjadikan kesucian bagimu.

”Adapun orang-orang yang tidak boleh menerima zakat ada dua golongan:1. Anak cucu keluarga Rasulullah SAW2. Sanak Famili orang yang berzakat, yaitu bapak, kakek, istri, anak, cucu, dan lain-lain.

8 golongan mustahiq



ZakatAda 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ

عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60)Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :

1. Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.

2. Orang Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.

4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.

5. Memerdekakan Budak: mancakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.

6. Orang yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

7. Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

8. Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.



Golongan yang wajib berzakat fitrah





Pertama:

Kewajiban zakat fitrah hanya ke atas orang Islam sebagaimana hadis ‘Abd Allah ibn ‘Umar yang telah dikemukakan sebelum ini: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah … dari kalangan umat Islam.”

Kedua:

Zakat fitrah diwajibkan ke atas orang yang mampu, yaitu memiliki kecukupan yang melebihi keperluannya untuk sehari semalam. Batas ini ditetapkan oleh para ahli fiqih mengingatkan tujuan zakat fitrah adalah untuk memenuhi keperluan orang miskin selama satu hari, yaitu pada 1 Syawal ( Aidil Fitri).

Kecukupan yang melebihi keperluannya adalah sesuatu yang sedia ada di sisinya. Oleh itu tidak perlu menjual harta, barang kemas dan sebagainya untuk mencapai taraf kecukupan.

Ketiga:

Orang-orang yang nafkah hidupnya berada dibawah tanggungan orang lain, maka dia tidak wajib membayar zakat fitrah. Zakat fitrahnya dibayar oleh orang yang menanggung nafkah hidupnya, berdalilkan hadis berikut:


أَنَّ النَبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى مِمَّنْ تَمُونُونَ

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah atas anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita, dari orang-orang yang kalian tanggung nafkah hidupnya. [Hasan: Dikeluarkan oleh al-Daraquthni dalam Sunannya, hadis no: 2052 (Kitab Zakat al-Fitri) dan dengan sanad yang memiliki perbincangan. al-Albani menilainya hasan berdasarkan jalan periwayatan lain yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi. Rujuk Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar al-Sabil (al-Maktab al-Islami, Beirut, 1985), hadis no: 835]

Siapa dan bagaimanakah kedudukan orang yang di bawah tanggungan tersebut? Syaikh ‘Abd al-Karim Zaidan hafizhahullah telah menghimpun perbincangan para ilmuan dalam persoalan ini dalam karyanya al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa Bait al-Muslim fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah (Muassasah al-Risalah, Beirut, 2000), jld. 1, ms. 455 dan seterusnya. Ia dapat saya ringkaskan seperti berikut:
  1. Suami tidak mampu, isteri tidak mampu. Suami isteri tidak wajib bayar zakat fitrah.
  2. Suami mampu, isteri tidak mampu. Suami membayar zakat fitrah untuk diri dan isterinya.
  3. Suami mampu, isteri mampu (memiliki harta atau bekerjaya). Suami membayar zakat fitrah untuk diri dan isterinya. Akan tetapi zakat tahunan isteri dibayar oleh isteri itu sendiri.
  4. Suami telah menceraikan isteri tetapi masih menanggung nafkahnya. Suami membayar zakat fitrah untuk dirinya dan untuk isteri yang telah diceraikan itu.
  5. Suami tidak mampu (miskin, muflis, kena PHK), isteri mampu. Isteri membayar zakat fitrah hanya untuk dirinya sendiri.
  6. Ibu bapa dan anak tidak mampu. Kesemuanya tidak wajib bayar zakat fitrah.
  7. Ayah mampu, anak tidak mampu. Ayah membayar zakat fitrah untuk anak-anaknya.
  8. Ayah mampu, anak mampu (biasiswa pendidikan, sudah bekerja). Masing-masing membayar zakat fitrah untuk dirinya sendiri.
  9. Ayah tidak mampu, ibu mampu, anak tidak mampu. Ibu membayar zakat fitrah hanya untuk dirinya.
  10. Ibubapa tidak mampu (tua, telah bersara), anak mampu. Anak membayar zakat fitrah untuk diri dan ibubapanya.
  11. Ibu sedang hamil. Tidak wajib membayar zakat fitrah untuk anak yang dikandung. Akan tetapi kebanyakan ilmuwan menganjurkannya berdasarkan tindakan para sahabat. [‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman al-Bassam – Taudih al-Ahkam min Bulugh al-Maram (Maktabah al-Asri, Mekah, 2003), jld. 3, ms. 375]
  12. Penjaga dan anak yatim piatu tidak mampu. Kesemuanya tidak wajib membayar zakat fitrah.
  13. Penjaga mampu, anak yatim tidak mampu. Penjaga membayar zakat fitrah untuk dirinya dan anak yatim piatu jagaannya itu.
  14. Penjaga mampu, anak yatim piatu mampu (memiliki harta warisan). Penjaga membayar zakat fitrah untuk dirinya dengan hartanya sendiri. Kemudian membayar zakat fitrah untuk anak yatim piatu jagaannya dengan harta anak yatim itu sendiri.
  15. Penjaga tidak mampu, anak yatim piatu mampu. Penjaga tidak wajib membayar zakat fitrah tetapi membayar zakat fitrah untuk anak yatim piatu jagaannya dengan harta anak yatim itu sendiri.

zakat fitrah




Zakat dari sudut bahasa ialah tumbuh dan bertambah. Harta yang dibayar sebagai zakat, ia sebenarnya menumbuh dan menambahkan lagi harta yang dimiliki oleh pembayar tersebut. Fitrah dari sudut bahasa ialah terbelah. Ada pun dari sudut syari‘at, maka Zakat Fitrah ialah harta yang wajib dibayar pada penghujung bulan Ramadhan. Demikian penerangan ringkas dari kamus-kamus bahasa Arab dan kitab-kitab fiqih.

Menarik untuk diperhatikan bahwa istilah Zakat Fitrah hanya dikenal dengan kedatangan Islam. Istilah tersebut tidak dikenal di kalangan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Justru ia adalah istilah yang khusus untuk Islam, tidak untuk bangsa maupun agama yang lain. [al-‘Aini – ‘Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari (Dar al-Fikr, Beirut, 1998), jld. 6, ms. 573]

Zakat fitrah juga dikenal dengan nama-nama lain, yaitu sedekah fitrah, zakat Ramadhan, zakat puasa, sedekah puasa dan sedekah Ramadhan.

Dalil Zakat Fitrah

‘Abd Allah ibn ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum ke atas hamba dan orang yang merdeka sama, ada lelaki maupun wanita, anak kecil maupun dewasa dari kalangan umat Islam. Baginda memerintahkan agar ia dibayar sebelum orang ramai keluar menunaikan solat (Aidil Fitri). [Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 1503 (Kitab al-Zakat, Bab kewajipan sedekah fitrah)]

I'tikaf




I’tikaf dan Pensyari’atannya

Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari)

Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab Lisanul Arab, i’tikaf bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)

Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)

I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja

I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)

Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.

Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)

Wanita Juga Boleh Beri’tikaf

Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim)

Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152)

Waktu Minimal Lamanya I’tikaf

I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tunaikan nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.

Yang Membatalkan I’tikaf

Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)

Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Lailatul Qadar




Bersemangatlah di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya.

Sebagaimana istri beliau -Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha- berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’, pen), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, sedekah dan lain sebagainya. Renungkanlah hal ini!

Keutamaan Lailatul Qadar

Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)

Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97]: 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)

Catatan: Perhatikanlah bahwa malam keberkahan tersebut adalah lailatul qadar. Dan Al Qur’an turun pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

شَهْرُ رَمَضَانَ الذي أُنْزِلَ فِيهِ القرآن

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)

Maka sungguh sangat keliru yang beranggapan bahwasanya Al Qur’an itu turun pada pertengahan bulan Sya’ban atau pada 17 Ramadhan lalu diperingati dengan hari NUZULUL QUR’AN. Padahal Al Qur’an itu turun pada lailatul qadar. Dan lailatul qadar -sebagaimana pada penjelasan selanjutnya- terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Renungkanlah hal ini!

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi ?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)

Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)

Catatan: Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.

Do’a di Malam Lailatul Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »

“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah)

Tanda Malam Lailatul Qadar

[1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)

[2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

[3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

[4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)

Tidur saat puasa



Soal:
Bagaimana hukum seorang ketika bulan puasa tidur sepanjang hari? Dan bagaimana pula kalau dia bangun untuk melakukan kewajiban lalu tidur lagi?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjawab,


Pertanyaan ini mengandung dua permasalahan:

Pertama,
Seorang yang tidur seharian dan tidak bangun sama sekali, tidak ragu lagi bahwa dia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan sholat. Maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah dan menjalankan sholat tepat pada waktunya.

Kedua,
Seorang yang tidur tetapi bangun untuk menjalankan sholat secara berjama’ah kemudian tidur lagi dan seterusnya, hukum orang ini tidak berdosa (dan tidak batal puasanya-pen). Hanya saja, ia terluput dari kebaikan yang banyak, sebab orang yang berpuasa hendaklah menyibukkan dirinya dengan sholat, dzikir, doa, membaca al-qur’an dan sebagainya sehingga mengumpulkan beraneka macam ibadah pada dirinya.

Maka nasihatku kepada orang ini, hendaklah ia tidak menghabiskan waktu puasanya dengan banyak tidur. Akan tetapi, hendaklah ia bersemangat dalam ibadah.

(Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin: 19/170-171)

Adapun hadits yang berbunyi:

صَمْتُ الصًّائِمِ تَسْبِيْحٌ وَ نَوْمُهُ عِبَادَةٌ

“Diamnya orang yang puasa adalah tasbih tidurnya adalah ibadah”

Hadits ini derajatnya lemah sekali dan berdampak negatif yaitu menjadikan sebagian orang malas dan banyak tidur di bulan puasa dengan beralasan hadits ini.



Perkara-perkara yang membatalkan puasa




Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah:

1. Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah Ta’ala berfirman: ”dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.’ (QS. Al-Baqarah: 187).

Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Jika (orang berpuasa) lupa, lalu makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa.” (HR. Ath-Thahawi, Al-Hakim dll dengan sanad sahih).

2. Muntah Dengan Sengaja
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang terpaksa muntah (tidak sengaja), maka tidak wajib baginya untuk meng-qadha puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya meng-qadha puasanya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud dengan sanad sahih)

3. Haidh dan Nifas
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda tentang wanita: “Bukankah jika haidh dia tidak shalat dan tidak puasa” Kami katakan: “Ya.” Beliau bersabda: “Itulah (bukti) kurang agamanya.” (HR. Muslim)
Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah -radhiallahu anha: “Mengapa orang haidh meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat”

‘Aisyah ‘radhiallahu anha balik bertanya: “Apakah engkau wanita Haruriy” Aku menjawab: “Aku bukan wanita Haruriy, tetapi hanya (sekedar) bertanya.”
‘Aisyah ‘radhiallahu anha berkata: “Kami juga haidh pada masa Nabi ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, tetapi kami hanya diperintahkan (oleh Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam) untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Haruriy nisbat kepada Harura’ (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij . Disebut Haruriy karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ‘Radhiallahu ‘Anhu ada di negeri tersebut.

4. Suntikan Yang Menggantikan Makanan (Infus) dan Semua yang Semakna dengan Makan dan Minum
Suntikan atau infus yang menggatikan makanan adalah membatalkan puasa, walaupun bukan merupakan makan dan minum yang sebenarnya akan tetapi maknanya sama dengan makan dan minum. Adapun suntikan biasa yang tidak menggantikan makan dan minum tidaklah membatalkan puasa, karena bukan merupakan makan dan minum dan tidak pula sama dengan makan dan minum.
(’Haqiqatush Shiyam’ hlm 55, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ‘Majalis Syahr Ramadhan’ hlm 102-103, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

5. Jima’
Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima’ harus meng-qadha dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ‘Radhiallahu ‘Anhu , dari Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:
“Datang seseorang kepada Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, binasalah aku!”
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bertanya: “Apakah yang membuatmu binasa”
Orang itu menjawab: “Aku meggauli istriku di (siang hari) bulan Ramadhan.”
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak”
Orang itu menjawab: “Tidak.”
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Apakah kamu mampu puasa selama dua bulan berturut-turut ‘ Orang itu menjawab: ‘Tidak.’
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin”
Orang itu menjawab: “Tidak.”
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Duduklah.” Diapun duduk.
Lalu ada yang mendatangkan satu wadah kurma kepada Nabi ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda, “Bersedekahlah dengannya.”
Orang itu berkata “Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami.”

Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda, “Ambilah, berikanlah sebagai makanan keluargamu.”
(HR. Bukhari, Muslim dll. Dalam sebagian riwayat ada tambahan: “Hendaklah kamu mengqadha satu hari sebagai gantinya.” Disahihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’)

6. Mengeluarkan Air Mani dengan Sengaja
Mengeluarkan air mani dengan sengaja adalah membatalkan puasa karena termasuk melampiaskan syahwat yang wajib dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa sebagaimana dalam hadis Qudsi Allah Ta’ala berfirman: ”dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.’ (HR. Bukhari).

Adapun keluarnya air mani yang tidak disengaja seperti, karena bermimpi atau berkhayal tanpa disertai perbuatan, maka tidaklah membatalkan puasa karena ini adalah sesuatu yang diluar kemampuannya dan dimaafkan oleh Allah.
Rasulullah ‘Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah membiarkan (memaafkan) dari umatku apa yang masih terpendam dalam diri mereka selama belum dikerjakan atau diucapkan.’ (HR. Bukhari dan Muslim. ‘Majalis Syahr Ramadhan’ karya Syaikh Utsaimin, hlm 101)

7. Berbekam / Cantuk / Hijamah, Pengobatan Cara Nabi dengan Mengeluarkan Darah Kotor
Rasulullah’Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: ‘Telah berbuka (batal puasanya) orang yang membekam dan yang dibekam’ (HR. Imam Ahmad dan Abu DAwud).
Imam Bukhari berkata: ‘Tidak ada dalam bab ini (hadis) yang lebih shahih darinya.’ Ini adalah madzhab kebanyakan Fuqaha Al-Hadits (pakar fikih ahli hadis).’
(’Majalis Syahr Ramadhan’ hlm 103. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin).

Termasuk dalam hukum berbekam pula adalah mendonorkan darah bagi orang yang sedang puasa, karena menguarkan darah yang banyak berpengaruh terhadap orang yang berpuasa sehingga menyebabkannya lemah kecuali apabila terpaksa (darurat) maka boleh seseorang mendonorkan darahnya dan dia berbuka pada hari itu dan menggantinya (qadha) pada hari lain.
Adapun mengeluarkan darah karena mimisan, batuk, bawasir (ambeien), cabut gigi, luka-luka, cek up dan semisalnya adalah tidak membatalkan puasa karena tidak sama dengan berbekam dan tidak berpengaruh terhadap orang berpuasa seperti berbekam. (’Majalis Syahr Ramadhan’ hlm 103. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin)…

www.hatibening.com

Puasa mempersempit ruang gerak syetan



Lapar dan haus akan mempersempit aliran darah sehingga menjadi sempit pula ruang gerak syetan di tubuh kita karena syetan mengalir di tubuh kita seperti atau bersama aliran darah sebagaimana hal ini telah disabdakan oleh Rasulullah –Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dalam hadis sahih Bukhari dan Muslim.

Oleh karena ini pula Rasulullah –Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Wahai sekalian pemuda! Siapa yang telah mampu untuk menikah diantara kalian maka hendaklah menikah, karena (pernikahan itu) lebih menjaga pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa (shaum), karena hal itu bisa mengurangi syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis tersebut Rasulullah –Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam menjadikan berpuasa sebagai sarana untuk mengurangi dan menghancurkan nafsu syahwat.

Inilah rahasia mengapa orang yang berpuasa mudah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.

[www.hatibening.com]



Ngabuburit ????



Sebenernya, gag tau harfiahnya artinya apa, kalo dari arti kata nunggu maghrib lah.

Kadang hal-hal yang dilakukan buat nunggu maghrib:
- nongkrong
- maen game
- etc

Lalu apa yang salah?
Salah

Orang menghabiskan waktu wat nongkrong?
Iya kalo nongkrongnya di masjid, bawa Quran terus tadarusan
In the fact, nongkrongnya ya kumpul2 biasa, ngobrol, ngomongin orang, upz gag boleh lho

Ngabuburit yang baik, melakukan pekerjaan yang berguna, berfaedah, bermanfaat
Tadarusan kek Baca2 kek

Masak puasa cuma dapet laper doang?

Masak puasa cuma males2an?
Emang si tidur di bulan puasa itu ibadah
Tapi kan masih banyak ibadah lain yang bisa dilakuin selain tidur
So, isi ngabuburitmu with useful thing
Jangan cuma nongkrong nunggu bedug
SEORANG MUSLIM JANGAN HANYA JALAN DI TEMPAT
KITA ADALAH AGENT OF CHANGE

APA LO GENGSI DIKATAIN SOK ALIM?
APA LO MALU DIKATAIN SOK ISLAMI?


MENDING KAN DARIPADA SOK KAFIR. . . wkwkwk

sumber XCry

Senin, 07 September 2009

Tips sehat di bulan puasa


ilustrasi

Bulan Ramadhan kembali tiba. Banyak sudah bukti ilmiah yang menyebutkan tentang manfaat puasa. Jadi, inilah saat yang tepat bagi Anda yang ingin mendapatkan pahala sekaligus tubuh sehat.

Selama bulan Ramadhan, umat muslim diwajibkan untuk berpuasa sejak matahari terbit hingga terbenam selama satu bulan penuh. Sebelumnya, seringkali kita tergoda mengikuti hawa nafsu, termasuk soal makan. Segala macam makanan kita santap tanpa mempedulikan kebutuhan gizi yang seimbang untuk tubuh. Akibatnya, lemak tubuh semakin bertambah, apalagi tanpa diimbangi dengan olahraga yang mampu membakar lemak. Semakin banyak timbunan lemak bisa meningkatkan resiko terkena diabetes, hipertensi dan stroke.

Sayangnya, hal ini diikuti oleh pemahaman yang salah di masyarakat. Bahwa puasa menyehatkan, karena mampu menurunkan berat badan. Selama ini ada persepsi bahwa jika berat badannya turun, maka lemak ikut turun. Padahal, penurunan berat badan secara drastis justru bisa memicu terjadinya dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh.

Tidak sedikit pula orang yang beralasan bahwa puasa membuat tubuh lemas karena kurang makan sehingga berakibat terhadap menurunnya produktivitas kerja sehari-hari. Dengan alasan tersebut, kemudian timbul perilaku tidak sehat yang dilakukan tanpa sadar dan menjadi kebiasaan selama berpuasa.

Agar tidak lemas, akhirnya timbul kebiasaan makan sahur yang banyak dilanjutkan dengan makan berlebihan saat berbuka, kurangnya mengonsumsi buah-buahan dan sayuran, tidur seharian sampai tidak berolahraga. Akibatnya, tanpa disadari berat
badan terus meningkat dan kondisi tubuh menjadi kurang fit.

Sesungguhnya, puasa dapat mencegah penyakit yang timbul karena pola makan yang berlebihan. Makanan yang berlebihan gizi belum tentu baik untuk kesehatan, karena overnutrisi dapat mengakibatkan kegemukan yang bisa menimbulkan penyakit degeneratif, seperti kolesterol dan trigliserida tinggi, jantung koroner, kencing manis, dan lain-lain.

Menurut Dr. Antonia A. Lukito, Sp.JP-FIHA, staf kardiologi dari Rumah Sakit Siloam Gleaneagles, selama berpuasa, tentu ritme sistem kerja organ pencernaan akan berubah. Jadi, bagi orang yang beresiko tinggi terhadap penyakit tersebut, inilah saat yang tepat untuk memberikan kesempatan organ pencernaan untuk beristirahat. Biasanya kita menikmati makanan secara babas selama 24 jam, tentu akan terbatas menjadi dua kali sehari dengan intensitas lebih banyak di malam hari.

Momen bulan puasa inilah saat yang tepat untuk membentuk tubuh sehat. Salah satunya dengan mengatur pola makan. Menu makanan juga harus diperhatikan. Karena waktu makan selama menjalankan puasa hanya dua kali dalam sehari, maka menu makanan saat sahur dan buka puasa harus memenuhi kebutuhan asupan nutrisi dalam satu hari.

Kendati hanya makan sebanyak dua kali, saat sahur dan buka puasa, jumlah kalori, karbohidrat, dan asupan gizi lainnya harus tetap sama dengan saat kita tidak berpuasa. Fungsi zat gizi dalam tubuh adalah sebagai sumber energi (karbohidrat dan lemak), zat pembangun (protein) terutama untuk tumbuh kembang serta mengganti sel yang rusak dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral).

Salah satu manfaat puasa adalah kesempatan untuk pengistirahatan sel-sel tubuh. Hal itu bisa optimal dilakukan asalkan pengaturan makan selama berpuasa dilakukan dengan benar. Dokter Antonia memberi contoh kebiasaan keliru yang sering dilakukan saat berpuasa. Salah satunya, adalah teori “balas dendam” dengan mengonsumsi makanan sebanyak-banyaknya saat berbuka puasa. “Sebaiknya, menu yang dihidangkan saat menjelang berbuka tidak berlebihan, atau sama seperti biasanya,” katanya.

Agar selama berpuasa tidak lemas lantaran kadar glukosa darah turun, konsumsi gula hendaknya diperbanyak. Karena kadar gula darah dalam tubuh turun secara drastis sehingga saat berbuka, dibutuhkan salah satu penghasil kalori yang cepat antara lain gula. Menurut dokter Antonia, memang saat lapar tubuh secara otomatis menginginkan makanan yang rasanya manis. Sehingga seringkali saat berbuka disarankan makan atau minum yang rasanya manis.

Namun, dokter yang juga mengajar di Universitas Pelita Harapan ini mengingatkan, jangan memilih makanan atau minuman yang manisnya berasal dari gula putih atau gula jawa, termasuk sirup. Karena ketiga jenis bahan ini kadar glukosanya terlalu tinggi, selain itu cepat pula turun. Sebaiknya mengkonsumsi sumber gula yang naiknya perlahan, diserap tubuh pelan-pelan, tetapi tidak cepat turun. Ini bisa diperoleh dari bahan makanan dengan karbohidrat kompleks atau yang mengandung serat, yaitu buah dan sayuran. Alangkah baiknya, sumber makanan manis berasal dari buah-buahan.

Jadi sebaiknya, hindari pola berbuka dengan makanan manis yang mengandung gula tinggi. Sebab, insulin akan dipaksa keluar. Jika hal ini terus di lakukan, justru akan memperlemah pankreas sehingga bisa terkena diabetes.

Selain itu, pada saat sahur, menu makanan harus memenuhi 40 persen dari total porsi sehari. Karena itu, makanan yang dikonsumsi harus lengkap, gizi seimbang, serta mengandung karbohidrat, protein, dan lemak, disertai minum air sebanyak tiga gelas. Menjelang imsak, kita sebaiknya makan lagi berupa makanan ringan yang mengandung karbohidrat dan serat.

Hampir selama bulan puasa iklan suplemen gencar ditayangkan. Nah, bila langkah ini dilaksanakan dengan tepat, tentu selama puasa kita tidak memerlukan lagi suplemen. Bangunlah motivasi bahwa puasa menjadi salah satu momen untuk mengembalikan kesehatan tubuh. Untuk dapat merasakan perbedaannya, cobalah Anda lakukan cek darah sebelum dan setelah bulan puasa. Bila dilakukan dengan baik dan benar, puasa dapat menjadi salah satu terapi yang efektif sekaligus murah.

Tips Selama Bulan Puasa

* Selalu konsumsi makanan bergizi baik saat sahur ataupun berbuka, meski dengan menu sederhana, yang penting mengandung lima unsur gizi iengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

* Agar Anda mampu menahan rasa lapar, perbanyak jenis makanan berserat yang banyak terdapat dalam sayur dan buah. Tubuh memerlukan waktu lebih lama untuk mencerna makanan yang banyak mengandung serat.

* Upayakan banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi.

* Usai sahur jangan langsung tidur, karena tubuh memerlukan waktu untuk mencerna makanan.

* Saat berbuka, jangan langsung minum air dingin atau es. Sebaliknya, biasakan berbuka dengan minuman yang hangat. Perut kosong bisa menjadi kembung, bila Anda langsung berbuka puasa dengan air dingin, karena asam lambung dalam tubuh akan terbentuk semakin banyak.

* Jangan langsung makan ‘besar’ saat berbuka, agar lambung tidak kaget. Sehingga kerja lambung tidak terlampau berat karena lambung membutuhkan ruangan kosong untuk mencerna makanan. Kunyah makanan dengan baik untuk meringankan kerja pencernaan.

Manfaat Puasa bagi Tubuh, Antara Lain:

• Menurunkan kolesterol dan trigliserida tinggi
• Menurunkan berat badan dan mencegah obesitas (kegemukan)
• Mengurangi resiko kencing manis (diabetes mellitus) tipe II
• Menurunkan tekanan darah tinggi
• Mencegah pengerasan pembuluh darah
• Mencegah gangguan jantung dan stroke
• Meningkatkan kuantitas dan kualitas sperma.

Mendobrak Asumsi Puasa

Dulu, puasa identik dengan menurunnya tenaga. Kini, orang yang berpuasa bisa punya cara baru agar tetap bertenaga selama puasa. Terobosan ini dipelopori oleh sebuah produk makanan penguat jantung.

Jika mengawali sahur dengan mengonsumsi makanan instan ini, Anda bisa melewati puasa tanpa harus kekurangan tenaga. Selain menjamin kesehatan jantung, produk ini juga menjamin pelepasan glukosa secara perlahan. Pelepasan yang perlahan ini membuat tubuh menjadi tetap berenergi, dan kenyang lebih lama.

Jadi, anggapan umum mengenai lesu saat berpuasa kini harus dipertanyakan lagi. Sebab, makanan yang terbuat dari gandum ini telah memberikan alternatif baru, mendobrak asumsi tradisional mengenai lapar dan tidak bertenaga selama puasa.

Sumber: Male Emporium – CBN

 

My Blog List

Term of Use

Ramadhan Oh Ramadhan Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino